Oleh : Haeruddin, M. Pd
(Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar)
Covid-19 yang sudah menjangkit kurang lebih 200 Negara ini telah menguras energi masyarakat dunia khusunya para pemangku kebijakan dalam menyusun berbagai strategi jitu untuk memutus rantai penyebaran virus mematikan ini. Tak terkecuali Negara Indonesia yang juga ikut disibukkan dengan bertambahnya secara terus-menerus korban akibat Coronavirus Disease (Covid-19).
Hingga saat ini korban yang terjangkit covid-19 telah mencapai ribuan orang dan yang meninggal sudah ratusan orang dan diperkirakan akan terus bertambah mengingat setiap harinya rata-rata di atas ratusan yang diumumkan dan dinyatakan positif terjangkin firus covid-19. Namun hal yang disayangkan di tengah merebaknya covid-19 ini telah dimanfaatkan oleh segelintir manusia yg miskin moral untuk mengambil berbagai keuntungan pribadi atau kelompoknya. Anggap saja mereka-mereka yang sengaja menimbun masker kemudian dijual dengan harga yang sangat mahal, menjual masker bekas dengan harga tinggi, penipuan dengan modus menjual masker, penipuan yang berkedok donasi penanggulangan bencana covid-19 dan pencurian/perampokan.
Kemudian mereka yang abai dan menentang terhadap kebijakan pemerintah terkait Work From Home (WFH) yang mewajibkan bekerja di rumah, Physical Distancing (jaga jarak) dan kebijakan-kebijakam lainnya demi menahan laju penularan virus covid-19. Tidak hanya itu tidak sedikit orang yang sengaja memanfaatkan di tengah merebaknya covid-19 ini dengan cara membuat konten-konten palsu dan menyebarluaskan berita-berita bohong (hoax) yang menambah kepanikan dan ketakutan masyarakat luas sehingga cenderung melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan dalam menyikapi covid-19 ini.
Tingkah laku atau perilaku di atas merupakan bagian dari patologi sosial (penyakit sosial) yang akan melahirkan disintegrasi/disorganisasi sosial atau masalah sosial yang masuk pada kategori deviasi menyimpang dari tendensi sentral rakyat kebanyakan karena tindakan dan perilaku tersebut melanggar norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, solidaritas kekeluargaan, disiplin dan hukum formal serta norma-norma lainnya.
Tindakan atau perilaku seperti ini tentu mendapat respon dan kecaman dari seluruh masyarakat karena dianggap tidak memiliki kepekaan dan rasa kemanusiaan serta miskin solidaritas atau dengan kata lain fungsi sosialnya tidak aktif (disfungsi sosial) sehingga tindakan atau perilaku seperti ini termasuk sebagai gejala penyakit sosial yang harus diberantas dari muka bumi.
Berbagai faktor sehingga perilaku yang patologis ini bermunculan diantaranya adalah faktor politik, religius dan sosial budaya disamping faktor ekonomi. Mengenai hal ini kaum interaksionis dengan teori interaksionalnya menyatakan bahwa bermacam-macam faktor yang saling bekerjasama, saling mempengaruhi dan saling berkaitan satu sama lain sehingga terjadi interplay yang dinamis dan bisa mempengaruhi tingkah laku manusia untuk melakukan tindakan-tindakan di luar dari kewajaran sehingga muncullah banyak disorganisasi, disintegrasi, dan penyimpangan tingkah laku atau perilaku yang patologis.
Dalam pandangan psikologis psikiatris menekankan pada sebab-sebab tingkah laku patologis dan aspek sosial-psikologisnya sehingga orang melanggar norma-norma sosial yang ada di antaranya adalah faktor intelegensi, ciri-ciri kepribadian, sikap hidup yang keliru dan internalisasi diri yang salah, serta konflik-konflik emosional dan kecenderungan "psikopatologis" yang ada di balik tingkah laku menyimpang secara sosial. Disamping itu, runtuhya fungsi pengontrol dari lembaga/institusi sosial yang memberikan keleluasaan dalam bertingkah laku tampa kendali, tampa kontrol sehingga norma-norma intitusional kehilangan sama sekali efektifitasnya. Hal ini terjadi tidak lain dan tidak bukan karena terjadinya disorganisasi/disintegrasi sosial.
Harapan kita bersama adalah patologi sosial (penyakit sosial) ini tidak meramba pada perilaku korupsi di tengah pandemi covid-19 mengingat sebagian besar anggaran APBN yang tersebar keseluruh kementerian maupun APBD dialihka untuk menangani penyebaran covid-19 tidak tanggung-tanggung sampai puluhan trilliun yg digelentorkan pemerintah untuk urusan ini. Bahkan para kepala desa se Indonesia diberi keleluasaan untuk menggunakan dana desa dalam penanganan covid-19 dengan harapan penyebaran virus ini tidak sampai terpapar pada masyarakat pedesaan sehingga para petani, nelayan dan buru tetap dalam situasi aman dari coronavirus.
Di sisi lain KPK sudah mengantisipasi terjadinya korupsi di tengah pandemi covid-19 dengan memberikan warning kepada pelaku korupsi dengan ancaman pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup jika ada yang mencoba menggelapkan dana/anggaran penanganan bencana ini karena masalah ini adalah masalah emergency yang perlu penanganan serius dari semua pihak sehingga tidak manusiawi jika ada orang yang ingin mengambil keuntungan di tengah situasi genting seperti ini. Antisipasi dalam bentuk warning yang dilakukan oleh KPK kepada seluruh pejabat atau pengguna anggaran merupakan sebuah langkah positif di dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan uang Negara untuk pencegahan covid-19. Terlebih KPK terus bekerja tampa mengenal libur demi mengawasi penggunaan uang Negara tepat sasaran dan sesuai dengan prosedur dan peruntukannya serta tidak ada penyelewengan uang Negara dalam penanganan covid-19. Namun hal ini perlu dukungan dari seluruh stackholder baik pemerintah, pengusaha, masyarakat untuk bersama-sama menjadi social control sehingga tindakan/perilaku patologis bisa diminimalisir di tengah merebaknya covid-19.