Oleh: Jalaluddin Basyir, S.S., M.A.
(Akademisi UIN Alauddin Makassar dan Alumni
MAARIF Institute Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan)
Kemunculan
film Hollywood “Avengers: Endgame” telah banyak dinanti oleh semua pecinta film
khususnya mereka para pecinta film Marvels Comics. Penantian ini semakin
membawa kebahagiaan tersendiri mengingat film ini berdurasi tiga (3) jam. Jadi
bisa dipastikan seluruh pahlawan dalam film tersebut akan menampilkan kemampuannya
masing-masing dalam menghadapi musuh besar mereka di alam semesta ini, yakni the
great Thanos. Dengan kata lain, film ini wajib ditonton bagi para pecinta film
Marvel Comics ini.
Kehebohan
film ini tidak hanya sebatas pada para superhero
yang ditampilkan atau durasi waktu nonton yang panjang selama tiga (3) jam,
tapi lebih dari itu ada sepenggal keriuhan yang dipertontonkan dari film ini,
yaitu semakin menguatnya Popular Culture
(Budaya Populer) di masyarakat kita. Istilah Budaya Populer atau ‘Pop Culture’ dapat dipahami sebagai
produk kebudayaan yang merupakan kreasi dari masyarakat industrial dan
disebarkan secara massal (Dominic Strinati: 2009). Memang tidak ada yang aneh
dari kemunculan Budaya Populer atau Budaya Massa ini karena manusia adalah makhluk
homo cultura artinya makhluk yang
senantiasa menciptakan atau mengkreasi hal-hal yang ada di sekelilingnya demi
pemenuhan kebutuhan mereka. Masalahnya adalah bagaimana kehadiran Budaya
Populer yang cenderung didominasi oleh barat dan sebagian asia harus dinilai?
Yang
sulit disangkal adalah gelombang budaya barat dan asia lainnya tidak dapat
dihindari akibat dari globalisasi sehingga mereka dengan bebas keluar-masuk ke
dalam kebiasaan masyarakat kita yang sangat tradisionil. Ini hal serius. Tentu
ada situasi di mana Anda berhak ‘menikmati’ Budaya Populer ini, misalnya, kepenatan
sehabis bekerja dan Anda butuh hiburan atau sebagai kepala keluarga ingin membahagiakan
anak dengan mengajaknya nonton di bioskop pada akhir pekan. Untuk situasi
semacam itu tidak diperuntukkan dalam tulisan ini. Ada keadaan-keadaan formal
untuk menikmati Budaya Populer ini, tetapi bila tak ada, jelas Anda perlu arif
dalam memperlakukan Budaya Populer ini.
Bukan
arif secara ekonomi, melainkan arif secara kultural dan sosial. Kalau Anda
mampu menyisihkan sebagian uang Anda untuk berbagi kepada yang membutuhkan atau
mampu mempromosikan kearifan lokal Anda melalui Media Sosial, tetapi tidak
dilakukan, maaf, kemungkinan besar apresiasi terhadap budaya sendiri serta
kebiasaan ketimuran (budaya kolektif) untuk saling berbagi telah mengalami
kemunduran. Maksudnya adalah meskipun budaya massa ini memberikan kesenangan
tersendiri dalam keadaan tertentu, tetapi kuranglah bijak menyampingkan budaya
luhur nenek moyang kita dan sikap sosial yang selama ini menjadi tanda pengenal
masyarakat kita hanya karena tidak ingin melewati sedikit pun euforia budaya
massa ini.
Budaya Populer: Tantangan Nilai-Nilai Tradisional
Menyoal
Budaya Populer merujuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
aktivitas industri dan urbanisasi yang mengalami pertumbuhan begitu cepat.
Transformasi radikal dari hadirnya industri dan urbanisasi ini perlahan tapi
pasti sedikit banyak menggeserꟷjika tidak menghilangkanꟷnilai-nilai tradisional
atau budaya tinggi yang datangnya dari kebanyakan orang dan integritas bangsa
yang identik dengan nilai-nilai ke-Bhinneka-annya. Penghapusan budaya lokal
yang memiliki nilai seni rakyat, pekerjaan berbasis agraris, dan komunitas
masyarakat yang komunal relatif mengalami fragmentasi dan meninggalkan kekhasan mereka membentuk suatu
masyarakat yang homogen.
Jelas
homogenitas ini tidak dapat dianggap hal sepeleh karena itu artinya manusia
hanya dapat berkomunikasi dengan senyawa atau karakter yang sama serta melahirkan
hubungan yang bersifat kurang bermakna atau disebut sebagai relasi atomisasi (Dominic Strinati: 2009). Anda
bayangkan saja kehadiran media sosial, misalnya Whatssap, mampu membentuk komunitas-komunitas kecil dan sejenis
yang tanpa disadari sifatnya hanya berupa kontrak dan sesaat bahkan ekspresi
kemanusiaan pun tergantikan lewat simbol-simbol Budaya Populer ini (baca: emoticon).
Hal ini menjadi ancaman nyata dan pekerjaan rumah bagi kita karena kehadiran Budaya Populer meleburkan nilai-nilai budaya tinggi yang ada di masyarakat yang diciptakan bukan hanya sekedar dimaksudkan sebagai distingsi, tetapi juga utamanya sebagai nilai kohesif diantara para anggota masyarakat pendukungnya.
Seorang Futurolog, Alvin Tofler, pernah menyebutkan bahwa era informasi menjadi titik balik peradaban manusia dengan bermodalkan sumber daya alam dan sumber daya manusia, Indonesia diyakini mampu berdiri di panggung peradaban dunia tentu dengan dukungan baik dari pemerintah maupun masyarakatnya sebagai kreator dan pendukung dari kearifan lokal yang ada.