Opini : “Moderasi Beragama: Demonstrasi Tuhan Tentang Humanitas”

  • 11:56 WITA
  • Admin FSH
  • Artikel

Oleh: Jalaluddin. B, M.A.

(Akademisi UIN Alauddin dan Alumni MAARIF Institute Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan)



Istilah “Moderasi (ber)Agama” adalah pemikiran yang saat ini ramai dibicarakan bahkan telah menjadi semacam amalan yang harus dipratikkan sebagaimana himbauan Menteri Agama RI., Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Dipakai istilah moderasi beragama karena gerakan ini menganjurkan agar masyarakat yang bertuhan mampu berprilaku adil atau tidak berlebihan-kalau bukan ekstrim-terhadap penganut Tuhan lainnya. Sikap moderasi beragama ini mengisyaratkan ketidaksetujuan terhadap mereka yang sering kali menggunakan agama sebagai alat represif, misal, persekusi atau alat pembenar perihal perlakukan mereka terhadap kelompok minoritas.

Setiap kali ada tindakan ekstrimisme, persekusi, atau intoleransi, kemungkinan agama diperbincangkan di situ. Memang setiap perilaku ekstrimisme tidak dapat dipisahkan dari isu ke-agama-an terlebih utama ketika agama tertentu seperti Islam berada di sana. Pertanyaannya: apakah Islam se-ekstrim itu?

Yang sulit disangkal adalah Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda atau beragam dan itu harusnya diterima sebagai bentuk ke-iman-an kita terhadap-Nya. Ini adalah hal mutlak, tidak dapat ditawar. Islam, misalnya, mengajarkan kita tentang perbedaan yang wajib diselebrasi dan kewajiban untuk tidak saling membenci atas nama perbedaan (Surah Al-Hujurat Ayat 13 dan Al-Maidah Ayat 8). Hal ini jelas tentang keutamaan menerima keberadaan mereka yang berbeda keyakinan, untuk mu agama mu dan untuk ku agama ku!

Kedua ayat di atas jelas memberitahukan kepada kita semua bahwa Islam sejak dahulu kala telah mendemonstrasikan dan meletakkan dasar pemikiran tentang persamaan derajat atau menghormati orang yang berlainan pandangan, keyakinan, atau suku sebagaimana yang dipratikkan oleh Rasulullah saw. melalui piagam Madinah yang dibuatnya. Menjadi suci di mata Tuhan tidaklah harus dengan jalan membela-Nya secara fanatik atau bahkan ekstrim. Bersikap fanatik atau ekstrim sesungguhnya mengkhianati isi iman yang sebenarnya, yaitu Tuhan dengan maha pengasih (Ar-Rahman) dan penyayang-Nya (Ar-Rahim). Adalah lebih ber-iman dan agamis jika kita dapat hidup bersama dengan baik dan menjamin bahwa setiap orang bisa hidup menurut keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing ketimbang menjadi ekstrimis atau fanatik. 

Moderasi Beragama dan Manusia Baik

 

Seorang filsuf dunia bernama Aristoteles pernah berkata bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk baik (homo eudaimonia) dalam arti manusia akan memeroleh kebaikan yang diinginkannya bilamana mampu memenuhi keutamaan (arḗte) yang telah ada, yakni keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Pandangan dasar mengenai keutamaan intelektualitas itu berupa nilai kearifan lokal yang mampu dijunjung tinggi dan keutamaan moralitas tentang apa yang dipandang baik atau buruk oleh masyarakat pendukung dari keutamaan tersebut.

 

Keyakinan yang sama juga ditunjukkan Marcus Tullius Cicero, filsuf Italia, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk baik. Kedua alasan ini sudah cukup memperlihatkan potensi diri manusia untuk menjadi pribadi yang baik.

 

Karena itu, tidaklah sulit menjadi manusia baik karena hal ini setidaknya telah lama menjadi prinsip bersama, misalnya, pada masyarakat Bugis-Makassar yang dikenal dengan istilah “Sipakatau” (memanusiakan manusia) atau hal yang tertanam dalam simbol negara dan bangsa Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan kata lain, menjadi manusia baik bagi sesama manusia bukan hal asing karena hal ini sejak awal sudah menjadi semacam kewajiban atau human ethic khususnya bagi masyarakat Bugis-Makassar yang tercermin dalam nilai "Sipakatau" tersebut. 

Berada di tengah masyarakat majemuk adalah hal pasti, tetapi menjadi orang baik itu adalah pilihan hidup. Kalau anda menolak menjadi orang baik, pilih perilaku ekstrimis! Kalau anda menginginkan menjadi orang baik, pilih perilaku moderat! Sekali lagi, bangsa ini adalah bangsa berketuhanan yang maha esa dalam arti bangsa yang mengakui keberadaan setiap pemeluk agamanya tanpa mengurangi nilai dari keber(beda)agamaan tersebut.

Saya akhiri perjumpaan ini dengan sedikit mengutip UUD 1945 pada alenia pertama: “Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Berdasarkan rumusan UUD 1945 tersebut, maka barang siapa yang mengingkari praktik moderasi beragama sesungguhnya Ia telah memperagakan bentuk penjajahan spritualitas (kolonialisasi agama) dan sebaliknya, barang siapa yang mengindahkan moderasi beragama sejatinya Ia telah memerdekakan setiap orang yang ber-iman.