Oleh: Jalaluddin. B,
M.A.
(Akademisi UIN Alauddin
dan Alumni
MAARIF Institute Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan)
Istilah “Moderasi (ber)Agama”
adalah pemikiran yang saat ini ramai dibicarakan bahkan telah menjadi semacam
amalan yang harus dipratikkan sebagaimana himbauan Menteri Agama RI., Bapak
Lukman Hakim Saifuddin. Dipakai istilah moderasi beragama karena gerakan ini
menganjurkan agar masyarakat yang bertuhan mampu berprilaku adil atau tidak berlebihan-kalau
bukan ekstrim-terhadap penganut Tuhan lainnya. Sikap moderasi beragama ini
mengisyaratkan ketidaksetujuan terhadap mereka yang sering kali menggunakan
agama sebagai alat represif, misal, persekusi atau alat pembenar perihal
perlakukan mereka terhadap kelompok minoritas.
Setiap kali ada tindakan ekstrimisme, persekusi,
atau intoleransi, kemungkinan agama diperbincangkan di situ. Memang setiap
perilaku ekstrimisme tidak dapat dipisahkan dari isu ke-agama-an terlebih utama
ketika agama tertentu seperti Islam berada di sana. Pertanyaannya: apakah Islam
se-ekstrim itu?
Yang sulit disangkal adalah Tuhan menciptakan
manusia berbeda-beda atau beragam dan itu harusnya diterima sebagai bentuk
ke-iman-an kita terhadap-Nya. Ini adalah hal mutlak, tidak dapat ditawar.
Islam, misalnya, mengajarkan kita tentang perbedaan yang wajib diselebrasi dan
kewajiban untuk tidak saling membenci atas nama perbedaan (Surah Al-Hujurat
Ayat 13 dan Al-Maidah Ayat 8). Hal ini jelas tentang keutamaan menerima
keberadaan mereka yang berbeda keyakinan, untuk mu agama mu dan untuk ku agama
ku!
Kedua ayat di atas jelas memberitahukan kepada kita
semua bahwa Islam sejak dahulu kala telah mendemonstrasikan dan meletakkan
dasar pemikiran tentang persamaan derajat atau menghormati orang yang berlainan
pandangan, keyakinan, atau suku sebagaimana yang dipratikkan oleh Rasulullah saw.
melalui piagam Madinah yang dibuatnya. Menjadi suci di mata Tuhan tidaklah harus dengan
jalan membela-Nya secara fanatik atau bahkan ekstrim. Bersikap fanatik atau ekstrim sesungguhnya mengkhianati isi iman
yang sebenarnya, yaitu Tuhan dengan maha pengasih (Ar-Rahman) dan
penyayang-Nya (Ar-Rahim). Adalah lebih ber-iman dan agamis jika kita
dapat hidup bersama dengan baik dan menjamin bahwa setiap orang bisa hidup
menurut keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing ketimbang menjadi
ekstrimis atau fanatik.
Moderasi Beragama dan Manusia Baik
Seorang filsuf dunia bernama Aristoteles pernah berkata bahwa manusia
pada dasarnya adalah makhluk baik (homo eudaimonia) dalam arti manusia
akan memeroleh kebaikan yang diinginkannya bilamana mampu memenuhi keutamaan (arḗte)
yang telah ada, yakni keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Pandangan
dasar mengenai keutamaan intelektualitas itu berupa nilai kearifan lokal yang
mampu dijunjung tinggi dan keutamaan moralitas tentang apa yang dipandang baik
atau buruk oleh masyarakat pendukung dari keutamaan tersebut.
Keyakinan yang sama juga ditunjukkan Marcus Tullius Cicero, filsuf
Italia, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk baik. Kedua
alasan ini sudah cukup memperlihatkan potensi diri manusia untuk menjadi
pribadi yang baik.
Karena itu, tidaklah sulit menjadi manusia baik karena hal ini
setidaknya telah lama menjadi prinsip bersama, misalnya, pada masyarakat
Bugis-Makassar yang dikenal dengan istilah “Sipakatau” (memanusiakan
manusia) atau hal yang tertanam dalam simbol negara dan bangsa Indonesia, yaitu
“Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan kata lain, menjadi manusia baik bagi
sesama manusia bukan hal asing karena hal ini sejak awal sudah menjadi semacam
kewajiban atau human ethic khususnya bagi masyarakat Bugis-Makassar
yang tercermin dalam nilai "Sipakatau" tersebut.
Berada di tengah masyarakat majemuk adalah hal
pasti, tetapi menjadi orang baik itu adalah pilihan hidup. Kalau anda menolak
menjadi orang baik, pilih perilaku ekstrimis! Kalau anda menginginkan menjadi
orang baik, pilih perilaku moderat! Sekali lagi, bangsa ini adalah bangsa
berketuhanan yang maha esa dalam arti bangsa yang mengakui keberadaan setiap
pemeluk agamanya tanpa mengurangi nilai dari keber(beda)agamaan tersebut.
Saya akhiri perjumpaan ini dengan sedikit mengutip
UUD 1945 pada alenia pertama: “Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Berdasarkan
rumusan UUD 1945 tersebut, maka barang siapa yang mengingkari praktik moderasi
beragama sesungguhnya Ia telah memperagakan bentuk penjajahan spritualitas
(kolonialisasi agama) dan sebaliknya, barang siapa yang mengindahkan moderasi
beragama sejatinya Ia telah memerdekakan setiap orang yang ber-iman.