Opini : “KITA” YANG TERBARING KRITIS

  • 12:08 WITA
  • Admin FSH
  • Artikel

Oleh: Jalaluddin. B, M.A.

(Akademisi UIN Alauddin Makassar dan Alumni MAARIF Institute Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan)




Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang lahir lewat perjuangan masyarakat terhadap kaum penjajah tanpa sedikit pun membedakan agama, etnis, dan golongan. Perjuangan masyarakat Indonesia dalam melawan para penjajah menjadi bukti kuat dan nyata bagaimana masyarakat ini mendedikasikan seluruh jiwa dan raganya demi menciptakan kemerdekaan yang damai dan aman serta menjadi awal pembangunan bangsa Indonesia. Sejarah panjang masyarakat Indonesia memperihatkan perkembangan masyarakat Indonesia yang terlahir dari situasi penuh perjuangan tanpa batas hingga meraih kemerdekaan. Presensi himpunan sosial atau komunitas masyarakat pada hakikatnya ingin mengungkapkan bahwa semangat menjaga dan mempertahankan kehidupan persaudaraan yang rukun, kokoh, dan kuat adalah pondasi kuat menjaga keutuhan masyarakat sebagai “KITA” (relasi Aku-Engkau).

KITA dapat diartikan secara lebih sederhana sebagai hubungan antara Aku dan Engkau atau hubungan yang menegaskan sebuah persaudaraan. Artinya entitas Aku tidak dapat berdiri sendiri tanpa entitas ‘Engkau dan sebaliknya entitas ‘Engkau tidak dapat berdiri sendiri tanpa Aku’. Apabila Aku dipisahkan dari ‘Engkau’, maka bukan Aku saja yang tidak berguna, tetapi ‘Engkau juga tidak berguna dan jika ‘Engkau menghancurkan Akuatau Aku menghancurkan ‘Engkau , maka bukan hanya Aku’, tetapi ‘Engkau pun juga akan hancur atau binasa (Jannes Alexander Uhi, 2016: 168). Hubungan Aku dan ‘Engkauini menjadi sebuah standar tunggal terbentuknya entitas nyata sebuah KITA. Dengan kata lain, Aku bukanlah KITA, demikian pun Engkau bukan KITA tetapi KITAadalah Aku dan ‘Engkau’.

Memaknai ulang nilai filosofis “Kita” bukanlah tanpa alasan dikarenakan saat ini kita dihadapkan pada persoalankalau bukan krisispandangan ke-KITA-an. Orang-orang banyak yang mengklaim dan menjustifikasi diri dan kelompoknya adalah hal yang paling baik dan benar padahal mereka lupa bahwa sesungguhnya mereka tinggal dan hidup dalam satu rumah (masyarakat majemuk). Persoalan ini makin jelas tergambarkan ketika kita dipertemukan dalam kontekstasi politik tahun ini di mana polarisasi kelompok


masyarakat makin terlihat irisan segmentasi kepentingan diantara dua kelompok masyarakat ini. Akibatnya timbul rasa antipati bahkan mungkin kebencian terhadap satu sama lain. Mereka lupa bahwa bangsa ini dibangun bukan karena rasa antipati itu, tetapi dorongan untuk memerdekakan diri dari belenggu penjajah sehingga mereka bersepakat untuk bersatu demi kemerdekaan itu. Tentu persatuan ini tidak muncul begitu saja jikalau kesadaran dan kepercayaan masyarakat tidak dibangun bersama tentang arti sebuah kemerdekaan. Dalam bahasa lain, pentingnya membangun (kembali) kepercayaan dan kesadaran publik bahwa kontekstasi politik ini bukan hanya milik atau memenangkan salah satu kubu, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Tidak ingin menggurui atau sok tahu, tapi kiranya betul bahwa kita telah (di)miskin(kan) dengan sikap kepercayaan dan kesadaran “KITA” sebagai bangsa Indonesia sehingga kita saling “berperang” (Perang Baratayuda vs. Perang total) saat ini meskipun bersaudara.

Revitalisasi Islam Dalam Konteks ke-KITA-an

 

Insiden penembakan di dua masjid di kota Christchurch, New Zealand, tidak hanya memperlihatkan kepada dunia bagaimana kebrutalan dan kekejaman pelaku terhadap para imigran muslim yang diidentifikasi sebagai kelompok White Supremacy” (kelompok ekstrimis pembela kaum kulit putih), tetapi juga utamanya memperlihatkan adegan persaudaraan yang terjaga antara warga New Zealand dengan mereka. Saya tidak akan berbicara jauh soal gerakan ekstrimis ini, tetapi saya ingin menunjukkan bagaimana dukungan dan kepercayaan publik New Zealand satu sama lain serta pemerintah dalam memberikan kepastian rasa aman dan nyaman bagi para imigran sehingga mereka tetap bisa menjalankan ritual ibadahnya.

Dua peristiwa di atas baik perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia maupun serangan teroris di New Zealand mengajarkan kita betapa pentingnya membangun kepercayaan dan kesadaran publik tentang arti prinsip ke-KITA-an (persaudaraan) meskipun dengan latar belakang dan keyakinan yang berbeda-beda. Hal ini jelas disampaikan oleh Allah swt. dalam surah Al-Hujurat ayat 13, Al-Maidah ayat 48, dan surah An-Nisa ayat 1 yang dasarnya menekankan pada perintah untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan dan memelihara tali silaturrahim dalam keragaman.

Semangat nilai-nilai Islam yang ada di masyarakat, dengan demikian, harusnya mampu disikapi dengan saling menghormati karena Islam bukan hanya sekedar gagasan suci atau kudus, tapi utamanya adalah bagaimana gagasan ke-suci-an tersebut dipratikkan melalui perilaku terhadap sesama manusia sebagai fakta keislaman seseorang. Bukan kah Rasulullah saw. telah berhasil dengan baik menerapkan hal ini sebagai pemimpin di Madinah saat itu. Jangan sampai Islam mengalami profanitas (kemerosotan moral dan kotor) hanya karena disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.