Kriteria Intelektual Muslim (Muhammad Anshar Akil)

  • 08:10 WITA
  • Admin FDK
  • Artikel

       Intelektual muslim memiliki karakter yang khas, berbeda dengan intelektual biasa. Intelektual biasa hanya bekerja menggunakan akal dan keahlian profesionalnya, sedangkan intelektual muslim tidak hanya menggunakan akal, keahlian profesional, namun juga melengkapi diri dengan iman, amal shaleh, dan ketaqwaan kepada Allah swt. Alquran menggunakan istilah ulul albab untuk menggambarkan kriteria seorang Intelektual muslim. 
             Di dalam QS Ali ‘Imran: 190-191 dijelaskan bahwa: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulil-albaab (orang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” 
             Di ayat QS Al-Baqarah: 269 juga disebut: “Allah memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsia yang diberikan hikmah, sungguh ia telah diberi anugerah yang banyak. Dan tak ada yang mampu mengambil pelajaran, kecuali ulul albab.” 
            Istilah ulil albab yang berasal dari kata ulu dan al-albab. Ulu berarti “yang mempunyai” dan al-albab berbentuk jamak dari kata al-lubb yang berarti otak atau akal yang berlapis-lapis. Kata ulul albab muncul sebanyak 16 kali dalam Alquran (uii.ac.id, 2018). Ulul albab adalah profil intelektual paripurna yang mampu memadukan antara kemmpuan pikir dan zikir, otak dan hati, rasio dan rasa, mampu menyeimbangkan pengelolaan duniawi dengan tujuan ukhrawi. Ulul albab adalah orang yang diberi hikmah oleh Allah sehingga dapat mengambil pelajaran dari fenomen alam semesta. Kata hikmah di sini dapat dipahami sebagai ilmu yang dituntun oleh iman kepada Allah swt. 
           Intelektual Barat (sekularisme) mengembangkan ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah (epistemologi) menggunakan kekuatan pikiran (rasionalisme) dan pengalaman inderawi (empirisme), dengan objek penyelidikan (ontologi) yaitu alam semesta yang dapat ditangkap pancaindera, untuk mendapatkan kemajuan dalam kehidupan duniawi (axiologi). Nilai-nilai ilahiah dan tujuan ukhrawi tidak dimasukkan dalam ilmu pengetahuan ilmiah.
         Sedangkan intelektual muslim (ulul albab), ilmu didapatkan melalui berbagai metode seperti pengkajian (tadabbarun), penalaran (takqilun), pengamatan empiris (tubsirun), pemahaman (tafqahun), dan perenungan (tadzkirun), dengan objek penelitian meliputi segala ciptaan Tuhan yang meliputi langit dan bumi beserta yang ada di dalamnya, untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah (makrifatullah), melahirkan amal shaleh, meraih  ketaqwaaan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kebahagiaan dunia akhirat. Jadi sasaran utamanya ada dua yaitu: hablun minallah sebagai jalur vertikal dalam mengabdikan hidupnya kepada Allah (hamba Allah) serta hablun minannas sebagai jalur horizontal untuk mengimplementasikan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.
             Jika memperhatikan mekanisme kerja seorang intelektual muslim maka didapatkan kriteria yaitu: memiliki ilmu, iman, amal shaleh, ketaqwaan, kemaslahatan hidup, bahagia dunia dan akhirat. Kriteria tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: intelektual muslim (ulul albab) = memiliki ilmu (olah pikir) + iman (olah zikir) => amal shaleh, taqwa => kemaslahatan hidup, bahagia dunia akhirat, dan terhindar dari azab neraka.
            Rumus ini dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan kehidupan profesional umat Islam dalam bidang apapun. Misalnya seorang pengusaha muslim yang mampu mengintegrasikan ilmu ekonomi, iman, amal shaleh dan ketaqwaan. Begitu pula dengan politisi, dokter, psikolog, insinyur, arsitek, polisi, tentara, angota DPR, pejabat pemerintah, guru, dosen, peneliti, dan lain-lain sampai kepada staf dan tenaga administrasi yang selalu melengkapi diri dengan ilmu, iman, amal shaleh dan ketaqwaan dalam pekerjaanya. Hal ini bukan hanya tanggung jawab seorang intelektual (ilmuwan) tapi seharusnya dimplementasikan oleh seluruh kaum muslim dalam bidang kehidupannya. 

Penulis : Dr. Muhammad Anshar Akil, ST, MSi, CHt, CPNLP
Aktivitas : Dosen Program Pascasarjana (S2 & S3) dan Jurusan Ilmu Komunikasi (S1) UIN Alauddin Makassar, Founder AA Institute, “Anshar Akil Channel Youtube”, Motivator, Trainer, Penulis.
HP/WA : 081245361618