Oleh: Jalaluddin. B, M.A.
(Akademisi UIN Alauddin Makassar dan Alumni
MAARIF Institute Sekolah
Kebudayaan dan Kemanusiaan)
Bangsa Indonesia adalah
bangsa besar yang lahir lewat perjuangan masyarakat terhadap kaum penjajah tanpa sedikit
pun membedakan agama,
etnis, dan golongan. Perjuangan masyarakat Indonesia dalam melawan para penjajah
menjadi bukti kuat dan nyata bagaimana masyarakat ini mendedikasikan seluruh
jiwa dan raganya
demi menciptakan kemerdekaan yang damai dan aman serta menjadi
awal pembangunan bangsa
Indonesia. Sejarah panjang masyarakat Indonesia memperihatkan
perkembangan masyarakat Indonesia yang terlahir dari situasi penuh perjuangan
tanpa batas hingga meraih kemerdekaan. Presensi
himpunan sosial atau
komunitas masyarakat pada
hakikatnya ingin mengungkapkan
bahwa semangat menjaga dan mempertahankan kehidupan persaudaraan yang rukun,
kokoh, dan kuat adalah pondasi kuat menjaga keutuhan masyarakat sebagai
“KITA” (relasi Aku-Engkau).
“KITA”
dapat
diartikan secara lebih sederhana sebagai hubungan antara Aku
dan Engkau atau hubungan yang
menegaskan sebuah persaudaraan. Artinya entitas
‘Aku’
tidak
dapat berdiri sendiri tanpa entitas ‘Engkau’ dan sebaliknya entitas ‘Engkau’ tidak dapat berdiri sendiri tanpa ‘Aku’. Apabila ‘Aku’ dipisahkan dari ‘Engkau’, maka bukan ‘Aku’ saja yang tidak berguna, tetapi ‘Engkau’ juga tidak berguna dan jika ‘Engkau’ menghancurkan ‘Aku’ atau ‘Aku’ menghancurkan ‘Engkau’ , maka bukan hanya ‘Aku’, tetapi ‘Engkau’ pun juga akan hancur atau binasa (Jannes Alexander Uhi, 2016: 168).
Hubungan ‘Aku’
dan
‘Engkau’ ini menjadi sebuah standar tunggal terbentuknya entitas nyata sebuah “KITA”. Dengan kata lain, ‘Aku’ bukanlah “KITA”, demikian pun ‘Engkau’ bukan “KITA”, tetapi “KITA” adalah ‘Aku’ dan ‘Engkau’.
Memaknai
ulang nilai filosofis “Kita” bukanlah tanpa alasan dikarenakan saat ini kita dihadapkan
pada persoalanꟷkalau bukan krisisꟷpandangan
ke-KITA-an. Orang-orang banyak yang mengklaim dan menjustifikasi diri
dan kelompoknya adalah
hal yang paling baik dan benar padahal
mereka lupa bahwa sesungguhnya mereka tinggal dan hidup
dalam satu rumah (masyarakat majemuk). Persoalan ini makin
jelas tergambarkan ketika kita dipertemukan dalam kontekstasi politik tahun ini di mana polarisasi kelompok
masyarakat
makin terlihat irisan segmentasi kepentingan diantara dua kelompok masyarakat ini.
Akibatnya timbul rasa
antipati bahkan mungkin
kebencian terhadap satu sama lain. Mereka lupa
bahwa bangsa ini dibangun bukan
karena rasa antipati itu, tetapi dorongan untuk
memerdekakan diri dari
belenggu penjajah sehingga
mereka bersepakat untuk bersatu
demi kemerdekaan itu.
Tentu persatuan ini tidak muncul
begitu saja jikalau kesadaran dan kepercayaan masyarakat tidak dibangun bersama
tentang arti sebuah kemerdekaan. Dalam bahasa lain,
pentingnya membangun (kembali) kepercayaan dan kesadaran publik
bahwa kontekstasi politik
ini bukan hanya milik atau memenangkan
salah satu kubu, tetapi milik
seluruh rakyat Indonesia. Tidak ingin menggurui atau sok tahu, tapi kiranya betul bahwa kita
telah (di)miskin(kan) dengan sikap kepercayaan dan kesadaran “KITA” sebagai bangsa
Indonesia sehingga kita saling “berperang” (Perang Baratayuda vs. Perang
total) saat ini meskipun bersaudara.
Revitalisasi Islam Dalam Konteks ke-KITA-an
Insiden
penembakan di dua masjid di kota Christchurch, New Zealand, tidak hanya
memperlihatkan kepada dunia
bagaimana kebrutalan dan kekejaman pelaku
terhadap para imigran muslim
yang diidentifikasi sebagai
kelompok “White Supremacy” (kelompok ekstrimis pembela kaum
kulit putih), tetapi juga utamanya memperlihatkan adegan persaudaraan yang
terjaga antara warga
New Zealand dengan
mereka. Saya tidak
akan berbicara jauh soal gerakan ekstrimis ini, tetapi saya ingin
menunjukkan bagaimana dukungan dan kepercayaan publik New Zealand
satu sama lain
serta pemerintah dalam memberikan kepastian rasa aman
dan nyaman bagi
para imigran sehingga
mereka tetap bisa menjalankan ritual ibadahnya.
Dua peristiwa di atas baik
perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia
maupun serangan teroris di New Zealand mengajarkan kita betapa pentingnya
membangun kepercayaan dan kesadaran publik tentang arti prinsip ke-KITA-an (persaudaraan) meskipun dengan latar belakang dan
keyakinan yang berbeda-beda. Hal ini jelas disampaikan oleh Allah swt.
dalam surah Al-Hujurat ayat 13, Al-Maidah ayat 48, dan surah An-Nisa ayat 1 yang dasarnya menekankan pada perintah untuk berlomba-lomba
berbuat kebajikan dan
memelihara tali silaturrahim dalam keragaman.
Semangat nilai-nilai Islam yang ada di masyarakat, dengan demikian, harusnya
mampu disikapi dengan saling menghormati karena Islam bukan hanya sekedar
gagasan suci atau kudus, tapi utamanya adalah
bagaimana gagasan ke-suci-an tersebut dipratikkan melalui perilaku
terhadap sesama manusia sebagai fakta keislaman seseorang. Bukan kah Rasulullah
saw. telah berhasil dengan baik menerapkan hal ini sebagai pemimpin di Madinah saat itu. Jangan
sampai Islam mengalami
profanitas (kemerosotan moral
dan kotor) hanya karena
disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.